Senin, 18 Januari 2010

seismik 3D

Teknologi Q migration diterapkan pada data seismik dengan tujuan untuk melakukan migrasi seismik sekaligus melakukan koreksi amplitudo serta fasa seismik yang terdistorsi karena efek atenuasi dan velocity dispersion. Dengan kata lain, setelah melakukan Q Migration, diharapkan diperoleh data yang telah dikembalikan ke posisi dan timing yang seharusnya serta mengembalikan kandungan frekuensi tinggi yang hilang akibat atenuasi.

Persamaan gelombang pada domain transformasi Fourier ditunjukkan oleh Gazdag (1978), sbb:

Dimana U adalah medan gelombang, kx adalah bilangan gelombang pada arah horizontal, kz adalah bilangan gelombang pada arah vertikal, Δz adalah sampling pada arah vertikal, ω adalah frekuensi sudut.

Bilangan gelombang pada arah vertikal, kz didefinsikan dengan:
Dimana k=ω/v. Untuk memperhitungkan efek atenuasi, maka kecepatan v digantikan oleh frekuensi dependent dan kompleks kecepatan c:

Dimana Q adalah atenuasi dan γ=1/(πQ(z)).

Gambar di bawah ini menunjukkan contoh data seismik sebelum proses migrasi:

Courtesy Wang, Y., GEOPHYSICS,VOL. 73, NO. 1 , 2008

Gambar di bawah ini adalah hasil migrasi konvensional, tanpa melibatkan efek Q (gambar a), sedangkan gambar (b) adalah hasil migrasi dengan melibatkan efek Q (Q Migration). Perhatikan kehadiran frekuensi tinggi yang memberikan definisi reflektor dengan lebih baik.
Courtesy Wang, Y., GEOPHYSICS,VOL. 73, NO. 1 , 2008

Gambar di bawah ini adalah perbandingan trace seismik dari hasil migrasi konvensional dan hasil Q migration. Perhatikan perbedaan kedalaman event pada kedalaman sekitar 600, 1050 meter. Jelas bahwa dengan Q Migration, data seismik telah mengalami koreksi pergeseran fasa.

Courtesy Wang, Y., GEOPHYSICS,VOL. 73, NO. 1 , 2008

Reference: Courtesy Wang, Y.,Inverse-Q filtered migration, GEOPHYSICS,VOL. 73, NO. 1 , 2008


4-D Seismic

Proyek Seismic 4-D untuk monitoring reservoir merupakan kunci utama didalam keberhasilan peningkatan recovery minyak bumi dan pengurangan biaya operasi.

Aktifitas produksi dan EOR (Enhanced Oil Recovery) menyebabkan perubahan sifat fisis pada reservoir. Perubahan sifat fisis tersebut diantaranya: saturasi fluida, tekanan, temperatur yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan Impedansi Akustik dari reservoir.

Adanya perubahan Impedansi Akustik di atas dapat dimonitor dengan melakukan survey seismik kembali (Monitor). Dimana perbedaan sifat seismik antara survey Monitor dengan survey awal (Baseline) dikenal dengan studi Seismic 4-D.

Perubahan kecepatan gelombang seismik dan densitas reservoir tergantung pada jenis batuan, sifat fluida dan depletion mechanism. Injeksi gas dapat mengakibatkan peningkatan tekanan pori sehingga terjadi penurunan kecepatan gelombang seismik, sebaliknya pergantian minyak oleh air dapat mengakibatkan peningkatan kecepatan dan densitas.

Sebelum melakukan survey seismik 3D untuk tahap monitoring, studi kelayakan dengan melakukan seismic modeling harus dilakukan. Modeling ini bertujuan untuk melihat sensitifitas gelombang seismik (khususnya Detectability dan Fidelity) terhadap perubahan Impedansi Akustik reservoir akibat proses produksi. Modeling tersebut harus meliputi semua skenario yang bisa terjadi seperti substitusi fluida, saturasi, penurunan tekanan akibat proses produksi yang menyebabkan tekanan minyak turun dibawah bubble point, kenaikan temperatur akibat injeksi uap, perilaku carbonate versus clastic reservoir, Net to Gross, Permeabilitas, jenis wavelet, frekuensi, noise, dll.

Courtesy Norsar

Gambar di atas mengilustrasikan hasil modeling untuk data seismik awal (Baseline) dan Difference yakni perbedaan antara Monitor dan Baseline, perhatikan respon 4D pada penampang Difference, menunjukkan perubahan sifat reservoir yang signifikan.

Selanjutnya, setelah lulus dari studi kelayakan, data seismik monitor harus memiliki Repeatability yakni derajat kemiripannya dengan data awal (Baseline) pada zona non-produksi. Ketidakmiripan antara data Monitor dan Baseline, bisa diakibatkan oleh perbedaan parameter pengambilan data seismik i.e. bin size, panjang streamer, orientasi pengambilan data, jumlah trace dalam tiap CDP, tide, parameter pengolahan data seismik, dll.

Repeatability dapat dikuantifikasi dengan menghitung Normalized RMS-Amplitude Difference (NRMSD). Repeatability yang tinggi ditunjukkan dengan nilai NRMSD yang sangat kecil. Gambar di bawah ini menunjukkan histogram NRMSD untuk beberapa proses seismik: sebelum diproses (merah), tidal correction (biru), swell noise removal (hijau), channel smoothing (magenta) dan demultiple (biru muda). Perhatikan bahwa semakin sempurna processing seismik, histogram NRMSD akan terdorong ke nilai rendah (lihat garis kuning sebagai acuan).
Li et al., EAGE 66th Conference & Exhibition, 2004

Dikarenakan Survey Monitor dilakukan pada tahap produksi dimana fasilitas dan infrastruktur telah banyak berdiri. Sehingga, pada umumnya lay out survey serta parameter akuisisi seismik akan berbeda dari Baseline.

Survey seismik pada daerah dengan infrastuktur diatasnya. Courtesy Geco-Parkla

Seperti diilustrasikan pada gambar di bawah ini, sebelah kiri menunjukkan lay out survey dan gambar sebelah kanan menunjukkan perbedaan distribusi bin.
Courtesy James Rickett, Stanford University, and David E. Lumley, Chevron Petroleum Technology Company

Akibat adanya perbedaan parameter tersebut di atas, maka data seismik yang dihasilkannya pun akan berbeda pula. Gambar di bawah ini menunjukkan perbandingan antara penampang seismik untuk Monitor dan Baseline untuk parameter akusisi diatas. Perhatikan, Repeatability data tersebut sangat rendah i.e. keduanya menunjukkan perbedaan resolusi, amplitudo, frekuensi dan fasa(?) yang sangat mencolok pada zona non produksi.

Courtesy James Rickett, Stanford University, and David E. Lumley, Chevron Petroleum Technology Company

Dengan demikian, sebelum kita memproduksi penampang Difference beberapa proses harus dilakukan sehingga derajat Repeatability-nya dapat ditingkatkan. Proses tersebut diantaranya: survey realignment sehingga kedua data memiliki grid dan bin yang sama, koreksi statik (tidal correction), dan penggunaan model kecepatan yang sama baik untuk NMO maupun migrasi, penyamaan panjang gelombang (frekuensi) dan fasa untuk mengkompensasi perbedaan wavelet sumber dan amplitude balancing sehingga keduanya memiliki level energi yang sama, dll. Proses processing tersebut dikenal dengan Cross Equalization.

Proses Cross Equalization memerlukan sebuah operator wavelet yang diestimasi pada window waktu tertentu (zona statik, non reservoir) baik dangkal maupun dalam sehingga fasa, amplitudo, frekuensi, dll. dari kedua data seismik tersebut benar-benar identik.

Gambar di bawah ini menunjukkan perbandingan data Baseline dan Monitor setelah berbagai proses diatas. Perhatikan pada zona statik (non reservoir – non produksi), keduanya menunjukkan karakter yang sama.

Courtesy James Rickett, Stanford University, and David E. Lumley, Chevron Petroleum Technology Company

Analisis detail perlu dilakukan untuk melihat perubahan karakter seismik pada zona reservoir. Analisis ini dikenal dengan trace to trace comparison. Gambar di bawah ini menunjukkan trace to trace comparison pada zona reservoir yang setelah injeksi uap.

Courtesy Li et al, TLE 2001.

Pada gambar di atas terlihat bahwa karakter seismik untuk zona overburden tidak berubah. Akan tetapi efek injeksi uap menyebabkan perubahan amplitudo pada zona reservoir yakni penurunan Impedansi Akustik. Pada base-reservoir time shifting dapat terjadi sebagai velocity sag, dengan demikian sebelum memproduksi Difference proses local time-shifting perlu dilakukan.

Gambar di bawah ini menunjukkan respon seismik 4D untuk monitoring pergerakan fluida (air atau uap) oleh sumur injector. Perhatikan perbedaan respon seismik yang berbeda dari injector satu ke injektor yang lainnya.

Courtesy Paulo Johan et al., TLE, 2009


Velocity Dispersion

Dikarenakan sifat medium bumi tidak sepenuhnya elastik, maka gelombang seismik yang merambat melalui medium bumi akan mengalami distorsi oleh efek atenuasi dan Velocity Dispersion.

Velocity Dispersion dipengaruhi oleh sifat-sifat fisis batuan seperti porositas, fracture, mobilitas fluida, skala keheterogenan medium, dll.

Hubungan antara Velocity Dispersion dan attenuasi (Q) dirumuskan dengan persamaan sbb (Bourbié et al.,1987):
Dimana ρ adalah densitas, ω=2πf adalah frekuensi sudut dan M adalah Modulus Elastic kompleks yang didefinisikan sebagai rasio stress terhadap strain.

Didalam model Q yang konstan, kecepatan seismik bertambah sejalan dengan bertambahnya frekuensi:
Dimana f1 dan f2 adalah terendah dan tertinggi didalam band frekuensi.

Courtesy Langqiu F. Sun et al., Geophysics, vol 74 no 02, 2009.

Gambar di atas mengilustrasikan karakteristik perubahan kecepatan pada model atenuasi yang konstan (Q=20) sebagai fungsi dari frekuensi, karakteristik ini dikenal dengan Velocity Dispersion.

Velocity Dispersion biasanya diabaikan didalam pengolahan data seismik konvensional, dikarenakan efeknya sangat kecil dan sulit untuk diukur terutama pada medium dengan Q>30 (Futterman, 1962).

Akan tetapi pada medium yang beratenuasi tinggi Q<30, Velocity Dispersion tidak bisa diabaikan lagi (Molyneux and Schmitt, 1999). Karena pada medium tersebut data seismik akan mengalami pergeseran fasa yang signifikan.

Akibat adanya pergeseran fasa tersebut, tidak mengherankan jika kita sulit melakuan well-seismic tie untuk data VSP, terutama jika bekerja pada daerah dengan atenuasi yang sangat tinggi e.g. shale prone atau loose material akibat rapid sedimentation.

Tuesday, September 15, 2009

AVO Classification

Klasifikasi AVO (Amplitudo versus Offset) diprakarsai oleh Rutherford dan Williams (1989) yang mendefinisikan 3 kelas AVO untuk reservoir gas sand.

Ketiga kelas tersebut adalah, kelas I untuk high impedance gas sand (relatif terhadap shale yang menutupinya), Kelas II untuk kontras impedance yang hampir nol (antara gas sand dan shale) dan kelas III untuk low impedance gas sand.

Karakteristik amplitudo sebagai fungsi dari offset (sudut) untuk kelas-kelas AVO tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.


Dari gambar di atas terlihat bahwa, top gas sand kelas I AVO memiliki peak amplitude yang positif (SEG reverse, lihat: Polaritas normal-reverse) untuk near offset, kemudian mengalami dimming pada mid angle dan bahkan pembalikan polaritas pada far angle sebagai trough amplitude.

Kelas II memiliki near zero amplitude pada near offset (dimming), lalu mengalami peningkatan amplitudo ke arah trough pada far angle. Sedangkan untuk AVO kelas IIp, dijumpai pembalikan polaritas disekitar mid offset.

Kelas III AVO merupakan anomali yang mudah dikenal yang ditandai dengan peningkatan amplitudo yang drastis ke arah trough sejalan dengan bertambahnya offset.

Seiring dengan perkembangan dan penemuan di lapangan, dikenal juga AVO kelas IV, V dan VI. Kelas IV dan kelas V memiliki perilaku yang mirip yakni negative high amplitude pada near angle dan mengalami penurunan amplitudo pada mid dan far. Akan tetapi penurunan untuk kelas IV tidak sedrastis AVO kelas V.

Perilaku batubara (coal) dapat menyerupai gas sand kelas IV, untungnya gas sand kelas IV memiliki Vp/Vs yang kecil sedangkan batubara memiliki Vp/Vs yang besar. Untuk gas sand kelas VI, memiliki karakteristik low positive amplitude pada near offset dan mengalami peningkatan amplitudo ke arah peak pada far offset.

Pada praktiknya, determinasi gas sand tidak cukup dengan melihat respon amplitudo terhadap offset saja. Studi tersebut harus ditunjang dengan melihat aspek lain seperti karakterstik peta amplitudo pada masing-masing angle stack, AVO modeling, R3M, dan lain sebagainya.

Gambar dibawah ini menunjukkan karakteristik peta amplitudo untuk gas sand kelas III. Perhatikan bahwa bright amplitude anomaly (merah) berasosiasi dengan closure area.

Courtesy Nick Loizou et al., Petroleum Geoscience

Gambar di bawah ini menunjukkan, hasil inversi R3M yang di overlay dengan data seismik. Merah menunjukan high resistivity (hidrokarbon) dan biru menunjukan low resistivity (non hidrokarbon).
link:http://ensiklopediseismik.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar