Jumat, 08 Januari 2010

menelol;ah limbah migas


Mengolah Limbah Katalis Menjadi Batako dan Keramik

Limbah kerap menimbulkan masalah lingkungan. Apalagi kalau itu tergolong dalam kategori B3 (bahan berbahaya dan beracun). Maka penentangan terhadapnya pun akan semakin tinggi.

Untuk mengetahui apakah limbah hasil suatu proses produksi tergolong B3 atau non B3 butuh uji toksisitas dengan menentukan nilai LD 50 (lethal dosis). Cara itu yang dilakukan Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan terhadap limbah yang dihasilkan dalam proses pengolahan minyak mentah berat Duri dan Minas menjadi bahan bakar minyak (BBM).

GM UP VI Balongan Ir M Soehartono mengakui bahwa kegiatan pertambangan migas memungkinkan timbulnya dampak negatif. "Selalu ada kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan hidup dengan adanya limbah padat, cair, dan gas," kata Soehartono.

Untuk menekan semaksimal mungkin dampak negatif itu, menurut dia, sejak Februari 1992 Pertamina mengeluarkan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan dan keselamatan kerja. Garis besarnya berisi dukungan terhadap prinsip-prinsip pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Kedua menggalakkan perlindungan lingkungan dengan meredam dampak terhadap lingkungan dan menekan jumlah pencemaran yang timbul dalam semua aspek aktivitas. Ketiga, menekan jumlah limbah dan meningkatkan mutu pengolahan limbah pada tingkat yang dapat diterima lingkungan. Dan keempat, melengkapi sistem pengendali pencemaran yang baik agar dapat memenuhi peraturan terkait maupun standar industri.

"Dalam melaksanakan pengelolaan limbah, Pertamina selalu mengupayakan agar tidak membebani perusahaan. Bahkan kalau mungkin justru bisa mendatangkan keuntungan, sehingga perusahaan mendapatkan nilai tambah," tutur Soehartono.

Kini tujuan itu diaplikasikan Pertamina UP VI Balongan melalui kerja sama dengan kantor Dinas PU Provinsi Jabar. Kerja sama ini difokuskan pada pemanfaatan limbah katalis sebagai bahan bangunan. Namun untuk masalah toksisitas bahan limbah yang akan dipergunakan sebagai bahan bangunan itu, UP VI juga mengadakan kerja sama dengan PPSDAL-Unpad, Bandung. Penelitian difokuskan terhadap katalis bekas unit RCC UP VI Balongan pada tahun 1996-1997 yang pada saat ini jumlahnya mencapai 5.000 ton lebih.

PPSDAL-Unpad kemudian melakukan uji kimia dan biologi terhadap limbah katalis, termasuk B3 atau non B3. Untuk uji kimia, hasil pengukuran pH menunjukkan bahwa katalis bekas tidak bersifat korosif. Sehingga tidak digolongkan B3 melalui karakteristik korosif (pH katalis bekas dalam larutan CaCI2 adalah 3,96-4,80).

Bahkan dari analisis TCLP (test charateristic leaching procedure) diperoleh bahwa kandungan logam masih berada di bawah baku mutu yang telah ditetapkan. Berarti limbah tersebut tidak termasuk dalam B3. Dan ketika dilakukan solidifikasi hasil analisis TCLP ternyata lebih kecil daripada sebelum dilakukan solidifikasi.

Sedangkan hasil uji biologis dengan menentukan nilai LD 50 (lethal dosis) yaitu reaksi sederhana dari tingkatan toksisitas suatu zat/bahan/senyawa atau energi terhadap hewan uji yang diteliti, ternyata katalis bekas dari unit RCC ini tidak dapat digolongkan B3 secara kimia.

Katalis itu juga bukan merupakan limbah B3 karena memiliki LD 50 14 hari di atas 30 gr/kg berat badan (ambang batas Bapedal sebesar 15 gr/kg berat badan). Sehingga, katalis ini merupakan limbah yang cukup aman dan dapat dibuang/ditimbun tanpa mengalami berbagai proses.

Berdasarkan uji kimia dan biologi tersebut, kata Soehartono, maka pihaknya memberanikan diri untuk melakukan kerja sama dengan PU Jabar dalam pemanfaatan limbah untuk bahan bangunan. "Memang ada kontroversi menyangkut limbah ini. Tapi berdasarkan uji itu kita yakin bahwa limbah itu bisa dimanfaatkan karena bukan termasuk kategori B3," tandas Soehartono.

Berdasarkan PP No 19 tahun 1994, tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) semua katalis bekas pada proses pengilangan minyak bumi dikategorikan sebagai limbah B3, termasuk juga katalis bekas dari unit RCC UP VI Balongan. Sementara di negara penghasil teknologi maju seperti Amerika dan Australia, limbah katalis bekas yang dihasilkan dari unit RCC (sama seperti di UP VI Balongan) tidak dikategorikan sebagai limbah B3.

Maka upaya yang dirintis kini adalah membuat limbah tersebut menjadi bahan bangunan seperti paving block, batako maupun keramik. "Hasil uji coba untuk bahan bangunan ini cukup bagus. Tapi kita masih ingin mengetahui ketahanan dari bahan bangunan tersebut lebih jauh. Dan ini masih terus diteliti oleh ahlinya dari Dinas PU Jabar," ujarnya.
Yang jelas, batako yang dihasilkan dari uji tersebut diharapkan bisa memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI 03-0349-1989), untuk bahan bangunan. Di samping itu, ditinjau dari segi ekonomi biaya pembuatan batako dengan bahan katalis bekas lebih rendah daripada biaya pembuatan batako biasa.

Cara pembuatan batako, keramik atau bahan bangunan lainnya ini pun tampaknya tidak terlalu rumit. Seperti halnya pembuatan bahan bangunan yang lain, pemanfaatan katalis menjadi produk jadi itu pun memerlukan material lain. Yakni pasir, semen, air dan katalis bekas.
Pasir yang telah diayak dicampur dengan semen dengan perbandingan tertentu secara kering. Bahan ini dicampur sampai homogen dengan mengadukkan. Setelah itu, campurkan air sebanyak maksimum 60 persen berat semen dan tambahkan katalis bekas dengan pengadukan.

Setelah bahan itu tercampur rata, maka agregat tadi dimasukkan dalam cetakan dengan ukuran yang kita kehendaki. Bahan setengah jadi ini kemudian dijemur pada rak-rak penyimpangan untuk proses pengeringan secara alami atau menggunakan dryer.
Kilang minyak Balongan setiap hari menghasilkan 10 ton limbah katalis. Artinya, setiap tahun --bila berproduksi normal-- akan ada 3.600 ton limbah katalis.

Ada dua jenis limbah katalis yang dihasilkan yakni Spent-catalys yang dihasilkan pada unit RCC dan suldge dari unit RAHDM. Untuk limbah katalis bekas dari unit RCC itu yang kini dibuat untuk bahan bangunan batako, paving block dan keramik. Sedangkan untuk sludge, kata Soehartono, pihaknya masih menunggu hasil penelitian dari Korea karena dalam limbah itu masih mengandung unsur logam. agus yulianto
link:
~~~~~http://www.mail-archive.com/pb@dml.or.id/msg00168.html~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar